Monday, May 4, 2009

Slamet Abdul Syukur

Slamet Abdul Sjukur: Penyebar Musik Kontemporer

Duitulis pada 12 Oktober 2007 oleh brangwetan

Dikenal sebagai seniman musik, nama Slamet Abdul Sjukur lekat dengan hal-hal yang “aneh” dalam dunia musik. Selama 14 tahun belajar musik di Eropa, ia dianggap membawa angin segar tapi sekaligus juga dianggap pengacau. Sebagai dosen sejak tahun 1976 di Institut Kesenian Jakarta (dulu LPKJ), Slamet malah menidakkan dasar teori musik dan bertumpu pada kebutuhan kreatif. Dan tahun 1983, ia malah dipecat sebagai Ketua Departemen Musik yang dijabatnya selama dua tahun.

Lahir tanggal 30 Juni 1935 di Surabaya dalam keluarga pedagang, sulung dari dua bersaudara ini semula diminta menjadi apoteker lantaran ayahnya mempunyai toko obat, tapi ia menolak. Minat musiknya didapat dari nenek, yang menginginkan dia bisa main piano seperti tetangga sebelah. Les piano dijalani selama 9 tahun sejak tahun 1944. Hal ini sekaligus menghindarkan diri dari ejekan teman-teman bermainnya, terhadap kakinya yang cacat sejak usia 6 bulan, ketika ia sakit panas dan dipijat.

Pendidikan formal musik didapatnya dari Sekolah Musik Indonesia “Semind” di Jogjakarta (1952-1956), enam tahun kemudian langsung mendapat beasiswa belajar musik dari Pemerintah Prancis (1962-1967). Ia belajar organologi, memperdalam piano, musik kamar, harmoni, kontrapung, dan komposisi di Ecole Normale de Musique. Namun semua ilmunya itu seolah hanya “lewat” di kepalanya, untuk kemudian mengembangkan sendiri cara-cara bermusik secara amat personal. Dia mengajarkan pada banyak orang, bahwa musik sesungguhnya dimulai dari diam alias tidak ada bunyi sama sekali.

Bagi lelaki berambut ikal dan gondrong, musik adalah tepukan tangan pada mulut terbuka, gesekan kain panjang kaum perempuan ketika berjalan, bunyi gesekan sapu di jalanan, bahkan juga bunyi ketiak yang ditutup dengan telapak tangan. Musik pada hakekatnya bukan monopoli milik orang musik saja. Musik adalah milik semua orang dan bisa dimainkan dengan alat apa saja. Bahkan desir angin, gesekan daun, gemericik air, itu semua sebenarnya sudah musik.

Slamet yang berdomisili di Jakarta dan Surabaya ini memang sering dianggap menjadi biang penyebar paham musik kontemporer di Indonesia. Instrumen konvensional pun dimainkan dengan cara-cara yang tak lazim (seperti piano yang langsung dipetik dawai di dalamnya).

Meski demikian, toh karya musiknya selalu saja ada pihak yang mau menerimanya. Sejak tahun 1957 dia sudah berkarya untuk pesanan radio dan TV serta pihak swasta maupun pemerintah dari berbagai negara. Karya-karyanya terus dipentaskan di sejumlah festival di Eropa serta tampil dalam berbagai event musik di mancanegara. Pesanan dari Kedubes RI di Paris untuk festival internasional menghasilkan penghargaan piringan emas. Penghargaan lain yang pernah diterimanya diantaranya medali bergengsi Zoltan Kodaly dari Hongaria, dan dari American Biographical Institut, serta sejumlah pujian dari pihak-pihak berkompeten.

Slamet yang aneh, yang cuek, yang selalu berkarya dengan kemauannya sendiri, toh tetap saja diterima dimana-mana. Ia tak pernah minder dengan cacat kakinya. Jakarta dan Surabaya, adalah dua kota yang diklaim menjadi domisilinya. Dua minggu di Jakarta, dua minggu di Surabaya, katanya. (hn)