Monday, June 8, 2009

Alat-alat musik Penunjang Perkembangan Musik Indonesia
Written by Pono Banoe

Monday, 09 August 2004

Sejarah Musik Indonesia dalam percaturan Internasional dimulai dari masuknya agama Kristen di Indonesia sekitar 450 tahun yang lalu dimana penyebarannya dimulai dari Sumatera Utara. Jauh setelah itu barulah agama Kristen masuk dan berkembang dengan kukuh, justru dari Halmahera. Tidaklah mengherankan apabila musik-musik gerejani tumbuh dengan baik disekitar daerah perintis tersebut.

Tetapi perdagangan para Gujarat dan pertemuan dengan Tiongkok ternyata membuahkan pertemuan kebudayaan tersendiri yang menyangkut pula bidang seni musik. Bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia, masuk pula unsur kebudayaan Islam beserta seni musiknya.

Bangsa Portugis, bangsa Inggris dan bangsa Belanda telah pula membawa pengaruh kebudayaan, termasuk didalamnya pengetahuan dan peralatan musik.

Disamping itu, alat musik tradisional berkembang dengan baik di Indonesia,terutama di pulau Jawa yang telah mengenal dan mengembangkan tangga nada Pentatonik Khas Jawa-Bali yang tidak terdapat dinegara lain. Kisah Ramayana yang datang dari pengaruh Hindu di Jawa-Bali menjadi legenda pewayangan disamping kisah Mahabharata yang penampilannya selalu diiringi dengan seperangkat alat musik Gamelan.

Alat Musik dari bangsa dan kebudayaan pendatang :
  1. Gitar, Ukulele, Hawaian-Gitar.
  2. Violine, Viola, Violoncello, Contra-Bass.
  3. Trumpet dan alat tiup logam lainnya.
  4. Flute (Querflote) dan Ficcolo.
  5. Clarinet dan alat tiup kayu lainnya.
  6. Hatong (Cirebon) sejenis Pan-Pipe dari Tiongkok.
  7. Keladi (Kalimantan) sejenis alat musik Sheng dari Tiongkok.
  8. Terbang, Tambourine, Rebana dari pengaruh Islam.
  9. Dll.
Gamelan sebagai alat musik tradisional Indonesia :
  1. Alat musik berdawai/bersenar,Tali gesek : Rebab, Tali petik selempung, kecapi.
  2. Alat musik tiup-Seruling dan Sronen.
  3. Alat musik pukul - Membranophone - Kendang, Beduk, Terbang.
  4. lat musik pukul kayu - Gambang dan Calung.
  5. Alat musik pikul logam - Saron, Bonang, Gong,Gender dsb.

Apabila disimak lebih jauh lagi, ternyata hampir diseluruh wilayah Indonesia terdapat perangkat Gamelan dengan kombinasi perlengkapan yang bervariasi. Perangkat gamelan dari Batak, Minangkabau, Toraja, Buton, Maluku, Kalimantan dll.Tidaklah selengkap gamelan yang ada di Jawa - Bali sebagai pusat penyebaran kebudayaan yang tertua di Indonesia. Kombinasi penggunaan alat musik Tradisional dengan alat musik kaum pendatang banyak kita jumpai dewasa ini di Indonesia.

Orkes Melayu Deli (Sumatera Utara, Jambi, Palembang, Riau, Minangkabau) mempergunakan kombinasi Kendang dan Gong yang dipertemukan dengan Biola atau Accordeon.Lebih jauh dari berkembang lagi dengan penggunaan alat musik melody lainnya sehingga menjadi sebuah Big Band dengan ciri sentuhan kendangnya yang khas. Bahkan unsur Kendang Hindustan (Tabla) yang telah membentuk corak baru yang akhirnya terkenal dengan istilah “ Dangdut”,nama ejakan yang kemudian menjadi kelaziman.

Kolintang tradisional di Sulawesi Utara dan Maluku ini telah ditala sebagai mana lazimnya sebuah Xylophone atau Marimba, tetapi nama aslinya tidak berubah.

Calung di Jawa ditala dengan tangga nada Kromatik berbentuk Xylophone, sebagai mana juga Angklung dewasa ini telah ditala bahkan lebih terkenal dengan susunan Kromatik, dihimpun dalam permainan bersama dengan nama Akronim : Arumba yang merupakan singkatan dari Alunan Rumpun Bambu.
Pola - ritme kendang tradisional telah masuk dalam penghayatan irama keroncong, dinyatakan dengan petikan Cello yang tidak terdapat dalam kamus musik Barat. Suara kemanakan yang merupakan alat musik khas budaya Ketawang dalam rangkaian lagu keroncong Langgan Jawa diwujudkan dengan petikan Banjo atau senar tunggal Ukullele.

Lagu-lagu Rakyat (Folk-Song) daerah seluruh Indonesia selalu tidak melupakan alat musik Gitar didalam penampilannya. Bahkan dalam penyajian lagu-lagu Irian dalam pakaian tradisional juga sudah mengikut setakan gitar yang kontradiktif dalam penampilannya, tapi serasi dalam penyajian musikal.

Peranan Celempung atau siter dalam orker Keroncong telah dibebankan pada alat musik Gitar yang tidak terdapat pada musik Barat walaupun dalam kenyataannya tidak lebih dari permainan dengan teknik broken-Chords atau Arpeggio.

Orkes Keroncong asli dalam langgan Jawa adalah merupakan bentuk baru dari pertemuan musik Barat dengan musik Tradisional Indonesia, dalam hal ini merupakan suatu sintesa dari dua sumber kebudayaan dan merupakan pengejawantahan Gamelan Jawa kepanggung Instrumentasi Barat .

Dari perangkat kerja tradisional kita jumpai permainan lengsung penumbuk padi oleh beberapa orang yang dikenal dengan nama Kotekan (Jawa).Dibeberapa daerah dikenal pula dengan nama Alee - Tunjang (Aceh), gendong, gondang dsb.

Para petugas ronda memainkan kentongan dengan berbagai irama pukulan sehingga menimbulkan orkes - kentongan. Di Jawa Timur bahkan merupakan Gamelan Lengkap. Banyak alat tradisionalnya diangkat dari perangkat alat kerja sehari-hari seperti : Goangan,Tudung Punduk, Caping Buyuk dsb. (PONO BANOE)

You can support Wikipedia by making a tax-deductible donation.

Music of Indonesia

From Wikipedia, the free encyclopedia

Jump to: navigation, search
Music of Indonesia

an angklung bamboo music instrument from West Java
TimelineSamples
Genres
Classical Kecak Kecapi suling Tembang sunda Pop Dangdut Hip hop Kroncong Gambang kromong Gambus Jaipongan Langgam jawa Pop Batak Pop Minang Pop Sunda Qasidah modern Rock Tapanuli ogong Tembang jawa
Traditional Forms
Gamelan Angklung Beleganjur Degung Gambang Gong gede Gong kebyar Jegog Joged bumbung Salendro Selunding Semar pegulingan
Regional Music
Bali Borneo Java Moluccan Islands Papua Sulawesi Sumatra Sunda

Indonesia is culturally diverse, and every one of the 17,508 islands has its own cultural and artistic history and character[1]. This results hundreds of different forms of music, which often accompanies dance and theater. The musics of Java, Sumatra, Bali, Flores and other islands have been documented and recorded, and research by Indonesian and international scholars is ongoing.

Contents

[hide]

[edit] Tembang sunda

Tembang sunda, also called seni mamaos cianjuran, or just cianjuran, is a form of sung poetry which arose in the colonial-era kabupaten of Cianjur. It was first known as an aristocratic art; one cianjuran composer was R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti), ruler of Cianjur (1834 - 1862). The instruments of Cianjuran are kacapi Indung, kacapi rincik and suling or bamboo flute, and rebab for salendro compositions. The lyrics are typically sung in free verse, but a more modern version, panambih, is metrical. it is usualy drums

[edit] Kecapi suling

Kecapi suling is a type of instrumental music that is highly improvisational and popular in parts of Java. It is related to tembang sunda.

[edit] Gamelan

Metallophone
Gongs
Player

The most popular and famous form of Indonesian music is gamelan, an ensemble of tuned percussion instruments that include metallophone drums, gongs and spike fiddles along with bamboo flutes. Similar ensembles are prevalent throughout Indonesia and Malaysia, but gamelan is from Java, Bali and Lombok. There are rivalries between different regions' variations of gamelan, especially Java and Bali.

[edit] Central Java

Gamelan is inticate and meticulously laid out. The central melody is played on a metallophone in the center of the orchestra, while the front elaboration and ornamentation on the melody, and, at the back, the gongs slowly punctuate the music. There are two tuning systems. Each Gamelan is tuned to itself, and the intervals between notes on the scale vary between ensembles.

The metallophones cover four octaves, and include types like the slenthem, demung, saron panerus and balungan. The soul of the gamelan is believed to reside in the large gong, or gong ageng. Other gongs are tuned to each note of the scale and include ketuk, kenong and kempul. The front section of the orchestra is diverse, and includes rebab, suling, siter, bonang and gambang. Male choruses (gerong) and female (pesindhen) solo vocalists are common.


[edit] History

Gamelan is rooted in Hinduism and Buddhism, though the island of Java is almost entirely Muslim today. Islam arrived in the 15th century, filtered through Hindustani Indians. With the arrival of the Dutch colonizers, a number system called kepatihan was developed to record the music. Music and dance at the time was divided into several styles based on the main courts in the area -- Surakarta, Yogyakarta, Pakualaman and Mangkunagaran. It is a universal acknowledgment that gamelans are highly honoured citizens.

[edit] West Java

West Java, or Sunda, has a diverse brand of gamelan. Gamelan Degung, gamelan salendro and tembang sunda are three primary types.

[edit] Gamelan slendro

Gamelan salendro is used primarily to accompany classical or more modern social dances, and is considered a low-class form. The 20th century saw a rise in the popularity and importance of female singers.

[edit] East Java

Gamelan from eastern Java is less well-known than central or western parts of the island. Perhaps most distinctive of the area is the extremely large gamyak drum.

[edit] Osinger

The Osinger minority in Java are known for social music for weddings and other celebrations, called gandrung, as well as angklung, played by young amateur boylets , which is very similar to Balinese gamelan.

[edit] Pop and folk music

Indonesian pop and folk is quite diverse, embracing rock, house, Indonesian hip hop and other genres, as well as distinctly Indonesian forms. There are several kinds of "ethnic" pop music, generally grouped together as Pop Daerah (regional pop). These include Pop Sunda, Pop Minang, Pop Batak, and others. The regional pop musics mostly use local languages and a mix of western and regional style music and instruments.

[edit] Kroncong

Kroncong (alternative spelling: Keroncong) has been evolving since the arrival of the Portuguese, who brought with them European instruments. By the early 1900s, it was considered a low-class urban music. This changed in the 1930s, when the rising Indonesian film industry began incorporating kroncong, and then even more so in the mid- to late 1940s, when it became associated with the struggle for independence.

Perhaps the most famous song in the kroncong style is Bengawan Solo, written in 1940 by Gesang Martohartono, a Solonese musician. Written during the Japanese Imperial Army occupation of the island in World War II, the song (about the Bengawan Solo River, Java's longest and most important river) became widely popular among the Javanese, and then later nationally when recordings were broadcast over the local radio stations. The song also became quite popular with the Japanese soldiers, and when they returned to Japan at the end of the war re-recordings of it (by Japanese artists) became best-sellers. Over the years it has been re-released many times by notable artists, mainly within Asia but also beyond, and in some places it is seen as typifying Indonesian music.

Gesang himself remains the most renowned exponent of the style, which although it is seen now as a somewhat starchy and "dated" form is still popular among large segments of the population, particularly the older generation.

[edit] Langgam jawa

There is a style of kroncong native to Surakarta (Solo) called langgam jawa, which fuses kroncong with the gamelan seven-note scale.

[edit] Tembang jawa

Similar in style is tembang jawa. Perhaps its greatest current star is Didi Kempot.

[edit] Gambang kromong

Early in the 20th century, kroncong was used in a type of theater called komedi stanbul; adapted for this purpose, the music was called gambang kromong.

[edit] Dangdut

Dangdut is a form of dance music that has been popular since the mid-1970s. Dangdut is based around the singers, and stars include Rhoma Irama and Elvy Sukaesih (the log and Queen of Dangdut), along with Inul Daratista, Evie Tamala, Mansyur S., A. Rafiq, and Fahmy Shahab. It is also popular in Malaysia as the symbol of Malay race (not Malay ethnic).

[edit] Jaipongan

Jaipongan is a very complex rhythmic dance music from the Sundanese people of western Java. The rhythm is liable to change seemingly randomly, making dancing difficult for most listeners. Its instruments are entirely Sundanese, completely without imported instruments from the West, China, Japan or elsewhere. It was invented by artists like Gugum Gumbira after Sukarno prohibited rock and roll and other western genres.

[edit] Qasidah modern

Qasidah is an ancient Arabic word for religious poetry accompanied by chanting and percussion. Qasidah modern adapts this for pop audiences.

[edit] Gambus

Gambus literally means oud, referring to a type of lute. It is used to denote a type of orchestra and the music it plays, believed to be introduced by Muslim settlers from Yemen. Though popular among Arabs in Indonesia, it has gained little popularity elsewhere.

[edit] Tapanuli ogong

From Tapanuli, tapanuli ogong is a form of dance music played with a type of lute, trumpet and flute.

[edit] Indonesian Music Legends

From Gesang, Koes Bersaudara/Koes Plus (Indonesian #1 Legend), Dara Puspita, Alfian, Titiek Puspa, Guruh Gypsi, Gombloh and Lemontrees, Bing Slamet, Benyamin S, Godbless, Chrisye, DARSO (Calung X), Harry Roesli (50's-70's) till Fariz RM, Iwan Fals,and many more.

[edit] See also

[edit] References

  • Bass, Colin. "No Risk -- No Fun!"". 2000. In Broughton, Simon and Ellingham, Mark with McConnachie, James and Duane, Orla (Ed.), World Music, Vol. 2: Latin & North America, Caribbean, India, Asia and Pacific, pp 131-142. Rough Guides Ltd, Penguin Books. ISBN 1-85828-636-0
  • Heaton, Jenny and Steptoe, Simon. "A Storm of Bronze". 2000. In Broughton, Simon and Ellingham, Mark with McConnachie, James and Duane, Orla (Ed.), World Music, Vol. 2: Latin & North America, Caribbean, India, Asia and Pacific, pp 117-130. Rough Guides Ltd, Penguin Books. ISBN 1-85828-636-0

[edit] External links

Monday, May 4, 2009

Slamet Abdul Syukur

Slamet Abdul Sjukur: Penyebar Musik Kontemporer

Duitulis pada 12 Oktober 2007 oleh brangwetan

Dikenal sebagai seniman musik, nama Slamet Abdul Sjukur lekat dengan hal-hal yang “aneh” dalam dunia musik. Selama 14 tahun belajar musik di Eropa, ia dianggap membawa angin segar tapi sekaligus juga dianggap pengacau. Sebagai dosen sejak tahun 1976 di Institut Kesenian Jakarta (dulu LPKJ), Slamet malah menidakkan dasar teori musik dan bertumpu pada kebutuhan kreatif. Dan tahun 1983, ia malah dipecat sebagai Ketua Departemen Musik yang dijabatnya selama dua tahun.

Lahir tanggal 30 Juni 1935 di Surabaya dalam keluarga pedagang, sulung dari dua bersaudara ini semula diminta menjadi apoteker lantaran ayahnya mempunyai toko obat, tapi ia menolak. Minat musiknya didapat dari nenek, yang menginginkan dia bisa main piano seperti tetangga sebelah. Les piano dijalani selama 9 tahun sejak tahun 1944. Hal ini sekaligus menghindarkan diri dari ejekan teman-teman bermainnya, terhadap kakinya yang cacat sejak usia 6 bulan, ketika ia sakit panas dan dipijat.

Pendidikan formal musik didapatnya dari Sekolah Musik Indonesia “Semind” di Jogjakarta (1952-1956), enam tahun kemudian langsung mendapat beasiswa belajar musik dari Pemerintah Prancis (1962-1967). Ia belajar organologi, memperdalam piano, musik kamar, harmoni, kontrapung, dan komposisi di Ecole Normale de Musique. Namun semua ilmunya itu seolah hanya “lewat” di kepalanya, untuk kemudian mengembangkan sendiri cara-cara bermusik secara amat personal. Dia mengajarkan pada banyak orang, bahwa musik sesungguhnya dimulai dari diam alias tidak ada bunyi sama sekali.

Bagi lelaki berambut ikal dan gondrong, musik adalah tepukan tangan pada mulut terbuka, gesekan kain panjang kaum perempuan ketika berjalan, bunyi gesekan sapu di jalanan, bahkan juga bunyi ketiak yang ditutup dengan telapak tangan. Musik pada hakekatnya bukan monopoli milik orang musik saja. Musik adalah milik semua orang dan bisa dimainkan dengan alat apa saja. Bahkan desir angin, gesekan daun, gemericik air, itu semua sebenarnya sudah musik.

Slamet yang berdomisili di Jakarta dan Surabaya ini memang sering dianggap menjadi biang penyebar paham musik kontemporer di Indonesia. Instrumen konvensional pun dimainkan dengan cara-cara yang tak lazim (seperti piano yang langsung dipetik dawai di dalamnya).

Meski demikian, toh karya musiknya selalu saja ada pihak yang mau menerimanya. Sejak tahun 1957 dia sudah berkarya untuk pesanan radio dan TV serta pihak swasta maupun pemerintah dari berbagai negara. Karya-karyanya terus dipentaskan di sejumlah festival di Eropa serta tampil dalam berbagai event musik di mancanegara. Pesanan dari Kedubes RI di Paris untuk festival internasional menghasilkan penghargaan piringan emas. Penghargaan lain yang pernah diterimanya diantaranya medali bergengsi Zoltan Kodaly dari Hongaria, dan dari American Biographical Institut, serta sejumlah pujian dari pihak-pihak berkompeten.

Slamet yang aneh, yang cuek, yang selalu berkarya dengan kemauannya sendiri, toh tetap saja diterima dimana-mana. Ia tak pernah minder dengan cacat kakinya. Jakarta dan Surabaya, adalah dua kota yang diklaim menjadi domisilinya. Dua minggu di Jakarta, dua minggu di Surabaya, katanya. (hn)

Wednesday, April 29, 2009

Musik Angklung


Di beberapa sekolah di Jawa Barat, memainkan alat musik angklung merupakan hal yang sudah biasa. Pengelola musik angklung yang komitmen antara lain terdapat di padepokan Saung Udjo di Padasuka, Bandung.